Halaman

Kamis, 02 Mei 2013

Ketika Umur Memaksa Kita Dewasa

Memang kedewasaan tak pernah dapat diukur dengan usia seseorang. Sematang apapun usia seseorang, tak akan mampu menjadi tolak ukur kedewasaannya.

Gag ada yang salah dari pernyataan tersebut, saya turut mengamininnya. Sometimes I met people who are younger than me, but his act & thought is soooo mature compare with me. Merasa ditampar plus malu kalo ketemu orang-orang seperti ini.

Saya yang memang sedang belajar tidak grasak-grusuk kalo ada masalah, yang belum tamat mata kuliah kehidupan tentang tidak suntuk, bete, emosi kalo mood sedang tidak bersahabat, agag ngenes ngeliat yang bisa tetap tenang, santai, dan mengontrol emosi, dan lebih ngenes lagi kalo dia jauh lebih muda dari saya.
Saya yang masih suka malas-malasan dalam banyak hal, menunda-nunda perkerjaan "dari ntar ke ntar", suka gag tega dan malu ngaca kalo inget banyak yang jauh lebih muda tapi gigihnya pantang nyerah, semangatnya berkibar-kibar, gag ada kata lelah.

Saya yang terkadang masih berpola pikir seperti anak TK, berbuat tanpa memikirkan dampak dan resiko, seakan pengin tukeran jiwa dan raga sama anak sekolahan yang bisa berpikir panjang tentang sebab-akibat. Biar saya bisa dimaklumin kalo-kalo masih berbuat sesuka hati saya tanpa mikir ini-itu. Yahh,, kann namanya juga anak TK. Hehee.

Saya yang sesekali masih mencari kambing hitam tentang apa dan siapa yang berbuat salah, suka geregetan liat orang-orang yang selalu berdiam diri dalam posisi tersebut, tidak untuk mencari-cari kesalahan orang lain melainkan sedang berpikir solusi dari masalah tersebut. Iya! Usianya juga lebih muda dari saya! Nah saya? Masih di level 'kadang-kadang'. Kadang bisa tenang cari solusi. Kadang juga cari-cari, ini salah si-A, si-B.

Malu siiihh,,,malu! Malu banget lah.
"Inget umur"
"Udah gede masih suka gitu"
"Belajar dewasa gag malu sama umur"

Ini niihh, bisikan-bisikan ghaib yang entah dari mana datangnya yang sering menggelitik dan gag bisa saya anggap sepele. Mengingat saya bukan anak sekolahan lagi, sudah sepantasnya lah saya seharusnya bisa bersikap dan berpikir lebih dewasa dari pada anak-anak berseragam putih abu-abu atau bahkan putih-merah itu. Kalo maunya saya sih, saya masih bisa dimaklumin kalo-kalo bertingkah seperti anak-anak. Tapi yah itu tadi, umur yang tidak bisa dibilang remaja lagi memaksa saya untuk bersikap dewasa.

Kalo maunya saya juga sih, pengin balik duduk di bangku-bangku kayu bercat warna merah tua, hijau tua, biru dan kuning cerah itu! Pengin kembali ke masa-masa dimana bel istirahat bukannya ke kantin tapi saling berbagi bekal, kemudian sisa bel istirahat dihabisin main ayunan, perosotan, dan lari sana sini. TK! Saya ingin kembali TK. Dimana di umur segitu, apapun yang kita perbuat tidak akan di kait-kaitkan dengan usia kita. Apapun kelakuan nakal kita hanya mendapat teguran manis, dan dimaklumin. Bagaimanapun lambatnya kita menghapal alphabet, gag akan ada yang bilang kita bodoh, kalo pun kita merebut barang teman, mengambil hak orang, cuma diperingati untuk tidak mengulanginya, minta sesuatu kemudian merengek-rengek wajarlah namanya masih kecil, ini itu disediain juga memang sudah sewajarnya. Ahhh... Indahnya masa-masa TK.

Tapi hidup harus realistis, bisa aja saya bertingkah layaknya anak TK, tapi ‎​​apa iya muka saya setebal itu untuk bersikap kekanak-kanakan. Kalo pun jiwa saya masih ingin dimanjakan layaknya anak kecil, tetap saja raga saya gag bisa membohongi publik. Gimana juga dengan umur saya sekarang, saya dipaksa harus bersikap dewasa. Dengan status saya yang bukan anak-anak atau bahkan remaja lagi, saya diharuskan untuk tidak bersikap kekanak-kanakan.

Yah, inilah saat dimana umur memaksa saya dewasa.

When our childhood start to fade, learn how to be adult person. So, when the time has come, we are ready to be mature naturally.

Karena seharusnya dewasa itu bukan paksaan, melainkan hasil dari sebuah proses.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar