Halaman

Kamis, 25 April 2013

Sepotong dialog dengan alam

Matahari mulai merunduk malu, senja itu. Kepak-kepak burung terdengar selaras menuju peraduan. Suara anak-anak gaduh mengakhiri permainan. Sungguh senja yang biasa.

Terdiam berdiri di sudut bibir teras, matanya kosong menatap cakrawala yang kian menggariskan warna keabuan. Senyumnya membentuk lengkung getir mengantar tetes air mata.

Petang menyapa, mengungkit gundah gulana sesiangan ini. Langkah kaki terdengar di kejauhan. Ia yang tadi menikmati senja dengan sendu. Berpamitan dari teras yang menemani sejak tadi. Berjalan dengan hati penuh seruan, antara marah dan benci, berjalan mencoba bertegur sapa dengan alam.

Kini cahaya bulan menerpa wajahnya tanpa penghalang, tepat di taman belakang rumah. Berbaring ia beralaskan rerumputan yang sedari tadi membisikkan nada nan syahdu. Terlihat jelas air mata masih membekas di kedua pipinya. Ingin rasanya ia mengadu akan rasa yang kian membuncah.

Isak tangis ia bisikkan pada rerumputan yang sesekali hanya memanggut-manggut mengiyakan. Kesedihan terpancar dari setiap hela nafasnya. Detik kemudian, tatapan benci ia tujukan pada bulan yang seolah-olah tersenyum mengejek.

Tiupan angin membuatnya sedikit bergidik. Bukan karena ngeri. Angin bagaikan membisikkan jeritan hatinya, mengusik sakit yang sedari tadi ia coba obati. Sumpah serapah tak sadar ia lontarkan. Menghardik pada sisa-sisa luka yang tak mungkin terabaikan.

Tetes air membasahi pipinya lagi, tapi kali ini bukan air mata penjahatnya. Alam ikut bersedih, menitikkan gerimis yang kian merapat. Alam ikut bersedu sedan. Pada hujan ia terisak. Air mata menyatu dengan alam.
Cahaya bulan perlahan meredup, selaras gulitanya malam berhiaskan rintik hujan. Cahaya bulan, satu-satunya api kehidupan yang tersisa malam itu, nyalinya turut ciut menyaksikan kesedihan yang amat mendalam.

Sinis ia mengawali pembicaraan. Mengapa alam ikut tak bersahabat padaku!!! Jeritnya. Lalu tanpa 'babibu' ia mencerca semua. Dialogpun menjadi penanda kepedihan. Sesal ia rasa akan asa yang berujung pilu. Benci ia pada kata terucap yang tak berasal dari hati. Marah ia pada tumpukan janji yang sengaja terabaikan. Murka ia pada siapapun yang mempermainkan hati yang lain. Semua tumpah. Ia tumpahkan pada alam. Melalui dialog singkat tak dinyana.

Tangisnya kian beradu dengan hujan. Isaknya terpotong kemudian, tepat ketika angin yang meniup hujan dengan lembut, membisikkan kesejukkan, kebahagiaan. Yah. Entah alasan apa yang tepat untuk dikatakan. Saat angin yang tadi bagaikan bersekongkol pada musuh. Kini seakan menjadi kawan, mencoba menggelitik dan memancing senyumnya. Tiupannya yang kedua, menghantar pergi perlahan hujan. Sapaan selamat tinggal hujan sedikit menentramkan hatinya. Lalu gemericik air di tanah, yang sedari tadi hanya mengiramakan bunyi gaduh, kini terdengar amat merdu, menghibur. Senyumpun tergaris membentuk lesung di pipinya. Bersamaan dengan bulan yang malu-malu hadir seakan ikut menghangatkan hatinya. Yah, hati yang dingin karena ingkar, dusta, dan khianat!

Suaranya tertahan, damai ia rasa. Alam seakan berdialog dengannya. Alam seakan memahami pahit dan sakit yang ia rasa. Tanah, air, angin dan api mencoba menghiburnya, menyuarakan bebunyian merdu tak terlukiskan, memantulkan keindahan tak terkatakan.

Berdiri ia tanpa ragu. Menatap pasti ke arah bulan. Basah sekujur tubuhnya tak ia hiraukan. Lantas dengan lantang ia teriakkan, "terimakasih". Lalu ia jatuh terduduk. Bukan untuk tangis yang pecah lagi. Ia duduk dan menyapa alam, dengan lembut.

Menit kemudian, mantap ia berkata dalam hati. Benci tak akan mampu mengubah semuanya, termasuk pahitnya mengetahui ia yang kau cinta berkhianat. Amarah tak akan cukup untuk mengubur asa dan janji-janji. Biarkan kenangan terpatri dengan indah di sudut hati. Sakit dan pilu menjadi pelajaran menapaki jalan yang baru. Sedang amarah dan benci menjadi abu tak untuk disimpan.

Malam kian larut, pekat disana-sini. Menyisakan genangan-genangan air. Menyisakan hati yang damai. Tak ada lagi keraguan untuk tak memelihara benci dan amarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar